PENGERTIAN NASIONALISME
Nasionalisme adalah satu paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara (dalam bahasa Inggris "nation") dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia.
Menurut Ernest Renan nasionalisme adalah kehendak untuk bersatu dan bernegara.
Menurut Otto Bauar nasionalisme adalah suatu persatuan perangai atau karakter yang timbul karena perasaan senasib.
Menurut Hans Kohn nasionalisme secara fundamental timbul dari adanya National Counciousness. Dengan perkataan lain nasionalisme adalah formalisasi (bentuk) dan rasionalisasi dari kesadaran nasional berbangsa dan bernegara sendiri. Dan kesadaran nasional inilahyang membentuk nation dalam arti politik, yaitu negara nasional.
Menurut L. Stoddard nasionalisme adalah suatu kepercayaan yang dimiliki oleh sebagian terbesar individu di mana mereka menyatakan rasa kebangsaan sebagai perasaan memiliki secara bersama di dalam suatu bangsa.
PERJALANAN PANJANG NASIONALISME
NASIONALISME adalah mantra para pemimpin Cina dewasa ini. Meski mereka selalu mengklaim diri sebagai orang komunis dan partainya masih bernama Partai Komunis Cina (PKC)..
Peristiwa Tiananmen 1989, disusul oleh sanksi Barat yang memutuskan segala pertalian dengan Cina sebagai bentuk protes terhadap penindasan atas para penuntut hak demokrasi justru dipakai oleh PKC untuk menghidupkan kembali semangat nasionalisme.
Sanksi itu digambarkan sebagai bentuk arogansi Barat dan cara untuk terus memperhinakan Cina sebagai negara 'kelas kambing'.
Setelah hubungan dengan Barat normal, nasionalisme digunakan untuk memupuk rasa kesadaran tinggi dan bangga sebagai orang Cina. Nasioalisme juga digunakan sebagai pendorong menjadikan Cina sebagai negara kuat yang mampu bersaing baik dalam bidang ekononi maupun militer dengan kekuatan lain di dunia.
Waktu untuk mengeksploitasi nasionalisme juga sangat tepat. Dengan reformasi ekonomi, masyarakat Cina tengah berubah cepat. Itu juga terjadi ketika hampir seluruh lapisan masyarakat sudah muak dengan sosialisme/ komunisme, dipaksakan oleh Mao Zedong untuk menciptakan manusia egaliter. Nasionalisme muncul kembali.
Nasionalisme di negeri itu sebenarnya telah berusia panjang. Pada awalnya, di negeri itu nasionalisme sama sekali tak dikenal. Sampai penghujung abad ke-19, orang Cina hanya setia kepada keluarga, klan, atau kampung halamannya. Oleh karena itulah, kata Bapak Revolusi Cina Sun Yat-sen mengatakan, rakyat Cina itu bagaikan pasir. Ia bersatu kalau digenggam tangan, dan begitu genggaman dilepas, ia akan terpencar lagi.
Para sejarawan mengatakan, sampai permulaan abad ke-20 di sana hanya ada nasionalisme kebudayaan, khususnya Konghucuisme yang sejak sekitar permulaan Masehi telah diakui sebagai ideologi negara. Karenanya, di Cina pernah ada dua dinasti penguasa asing, yakni Dinasti Yuan, dan Dinasti Qing (1644-1911). Mereka didukung rakyat lantaran menggunakan legitimasi ajaran Kong Hu Cu sebagai dasar untuk berkuasa. Kedua dinasti itu berkuasa tanpa dianggap sebagai penjajahan asing.
Adalah Sun Yat-sen juga yang berani mengatakan bahwa Dinasti Qing itu adalah penjajah. Jadi, rakyat Cina harus meruntuhkan penguasa asing itu dengan revolusi dan membentuk sebuah republik dengan didasarkan oleh nasionalisme. Berkat usaha yang tak kenal lelah, Sun berhasil menggalang semangat rakyat dan dengan Revolusi Xinghai (10 Oktober 1911) berhasil meontokkan Dinasti Qing dan membentuk Republik Cina (Zhonghua Minguo).
Namun, republik dan nasionalisme itu tak sempat berkuasa lama. Setelah kejatuhan Qing, Cina mengalami zaman kekacauan yang berlangsung hampir 40 tahun. Kaum nasionalis, kaum monarki, para warlord dan kemudian kaum komunis saling bertikai untuk menjadi penguasa tunggal di Cina.
Hasilnya, kaum komunis di bawah Mao menang, dan mendirikan Republik Rakyat Cina (RRC) pada 1949. Kaum nasionalis terusir dan melanjutkan kekuasaan mereka di Taiwan. Tapi kekacauan dan kesengsaraan rakyat Cina belum berhenti.
Mao berkuasa bagaikan seorang kaisar. Dan uniknya, sebagai seorang yang mengaku dirinya komunis, dia sangat terobsesi oleh percobaan untuk menciptakan masyarakat dan manusia sosialis yang hanya mengenal egalitarianisme dan tak mementingkan diri. Sejak berdirinya RRC Mao melancarkan berbagai eksperimen berupa bermacam-macam kampanye massa.
Yang selalu menjadi korban dari rentetan kampanye itu tak lain dari orang-orang terpelajar dan mereka yang masuk ke dalam kategori intelektual. Begitu terobsesinya Mao oleh konsep sosialisme menurut tafsirannya sehingga ia melupakan pembangunan ekonomi ketika jumlah penduduk Cina membludak. Puncak dari segala kampanye itu adalah Revolusi Kebudayaan (1966-1976) yang sering disebut sebagai '10 tahun penuh kesengsaraan'.
Hanya setelah Mao tiada pada 1976 dan Deng Xiaoping memperkenalkan reformasi ekonomi, kehidupan rakyat mulai membaik. Namun akibatnya orang mulai acuh terhadap ideologi, khususnya komunisme/sosialisme. Dalam kekosongan inilah nasionalisme muncul kembali. Sukses pembangunan ekonomi dan militer, apalagi setelah RRC sukses sebagai penyelenggara Olimpiade 2008 telah menancapkan kembali nasionalisme di kalangan rakyat.
Dalam suasana seperti inilah PKC mengambil keuntungan. Nasionalisme digunakan sebagai alat legitimasi untuk menjadi penguasa tunggal. Bahkan dalam pidato HUT RRC tahun ini, Hu Jintao sedikit kebablasan dengan mengatakan nasionalisme dan kebanggaan sebagai bangsa Cina juga harus disebarluaskan di masyarakat etnik Cina di luar negeri yang notabene bukan lagi warganegara Cina.
Permainan ini ada juga bahayanya. Selama pembangunan ekonomi dan militer, serta kemampuan menghadapi tekanan luar (baca: Barat) masih dapat dipertahankan, rakyat akan mendukung rezim dengan gelora nasionalisme tinggi. Tapi, kalau kemampuan itu melemah atau lenyap, nasionalisme akan menjadi bumerang. Ia akan dijadikan alat rakyat untuk menumbangkan rezim.
NASIONALISME INDONESIA HARUS BERKEMBANG DALAM TAMAN SARI INTERNASIONALISME
Menteri Pertahanan RI Juwono Sudarsono menegaskan, Pertahanan bukan sekedar Alat Utama Sistem Senjata (Alutsista), semata yang lebih penting bagi Departemen Pertahanan ditantang untuk menjawab Perrtahanan dan Bela Negara dimasa mendatang, karena pertahanan bukan hanya militer saja tapi juga non militer. Ini menjadi kewajiban Departemen Pertahanan untuk menyebarluaskan Pertahanan non militer dalam era nasionalisme baru atau taman sari Internasionalisme Pertahanan, bukan nasionalisme yang sempit. Nasionalisme Indonesia yang berkembang dalam taman sari Internasionalisme yang dinamakan Globalisasi.
Hal itu dikatakannya selaku pembicara pada Temu Dialog 60 Tahun Indonesia Merdeka menuju satu Abad di Pekan Raya Jakarta (PRJ) Kemayoran Jakarta Selasa (16/8).
Menhan RI Juwono Sudarsono berkeinginan agar nilai-nilai, budaya, adat istiadat, lingkar-lingkar budaya serta pulau-pulau besar dan kecil di seluruh Indonesia akan menjadi Zamrud Khatulistiwa yang salah satunya akan menjadi Mozaik Indonesia yang bisa mencerminkan mozaik dalam suatu kaca warna-warni yang masing-masing mempunyai pancaran tersendiri didalam bingkai politik Indonesia yang satu.
Menhan RI berpendapat, bahwa kebhinekaan itu merupakan bagian dari bingkai-bingkai kesatuan Republik Indonesia, tapi bukan sekedar slogan NKRI tapi NKRI yan plus keadilan social. Tantangan kita kedapan adalah untuk mengisi kembali rasa kebersamaan yang diciptakan Bung karno melalui pidato-pidatonya.
Menurutnya, dengan sistem kepemimpinan yang makin terjangkau ke seluruh pulau-pulau terpencil kita bisa mengisi kembali rasa kebersamaan dengan menyambung sejarah dengan keadilan yang merata. Sejarah tidak boleh kita lupakan, tapi sejarah jangan menjadi perangkap hanya untuk meninjau masa lampau, sejarah kita pakai untuk mengisi nilai-nilai kebersamaan dari satu nasib sepenanggungan lahir satu kepribadian yang sama.
Temu Dialog yang berlangsung selama tiga hari tersebut diprakarsai oleh PT. Jakarta Internatinal Expo bekerjama dengan PT. Antheus Indonesia didukung oleh Asosiasi Perusahaan Pameran Indonesia dibagi bagi dalam empat session, meliputi session pertama membangun nasionalisme di era globalisasi, session kedua nasionalisme dan jati diri bangsa dimasa mendatang, session ketiga membangun semangat kebangsaan dan good Goovernance untuk memperkuat system pemerintahan dan session keempat konsepsi bela Negara pada system hankamrata sampai dengan 40 tahun mendatang
Demikian siaran berita Biro Hubungan Masyarakat Setjen Departemen Pertahanan RI.
NASIONALISME DI JAYAPURA
Jayapura, myRMnews. Dalam konteks Papua, nasionalisme bukan sekedar cium bendera, hafal Pancasila, ikut upacara dan seterusnya. Namun nasionalisme haruslah yang kontekstual.
"Nasionalisme adalah sekolah gratis, pelayanan kesehatan murah, lampu tidak padam, air bersih bagus, hutan terjaga, kesejahteran meningkat dan seterusnya," ungkap Sekjen Presidium Dewan Papua, Thaha Alhamid saat ditanya wartawan seusai menjadi pemateri dalam Dialog Publik KNPI Provinsi Papua yang digelar di Hotel Yasmin, Sabtu pekan lalu (19/1).
Hal penting lainnya, lanjut Thaha, keadilan sosial dan ekonomi harus diwujudkan, kemudian penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia, dan hal yang tidak boleh ditinggalkan adalah birokrasi yang bersih dari korupsi.
"Jika korupsi jalan terus, maka sama saja dengan membunuh rakyat Papua, sebab rakyat akan semakin menderita. Oleh sebab itu, pemerintah harus konsisten dalam pemberantasan korupsi," ujarnya.
Menurutnya, adalah hal yang sangat lucu jika di usia enam tahun ini, otonomi khusus masih berkutat pada aspek simbolik dengan terus mempersoalkan nasionalis kontra a-nasionalis. "Meski Bintang Kejora naik, Papua belum tentu merdeka.
Yang mesti dikibarkan di tiang paling tinggi adalah untuk Papua Baru adalah bendera hak hidup, bendera kesejahteraan rakyat, bendera penghormatan Hak Asasi Manusia, serta bendera keadilan social dan keadilan ekonomi," pungkasnya.
Dikatakan, selama ini, orang sibuk bicara soal symbol atau masalah larangan Bintang Kejora dijadikan lambang daerah, padahal semestinya ada agenda-agenda penting untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang hingga saat ini masih diabaikan.
"Stop bicara soal lambang. Kita harus berani berhenti bicara symbol. Kita harus bicara hal yang substansial. Itu yang paling pokok," tandasnya.
Thaha menyatakan, Pemerintah boleh melarang Bintang Kejora untuk dijadikan simbol dengan Peraturan Pemerintah No. 77/2007, akan tetapi hal itu tidak boleh menyita perhatian untuk bicara hal yang penting dalam upaya mewujudkan kesejahteraan rakyat.
"Karena itu saya usul supaya DPRP, MRP, gubernur untuk berhenti bicara symbol. Sekarang bicaralah mengenai grand strategi mengenai pendidikan, kesehatan dan seterusnya. Mana grand desain pembangunan ekonomi," ucapnya.
Thaha berkeyakinan, ada atau tanpa bendera, perjuangan rakyat Papua untuk menyuarakan aspirasinya akan tetap jalan, selama pemerintah tetap menerapkan ketidakadilan social, ketidak adilan ekonomi, korupsi merajalela dan seterusnya.
Dikutp dari :
• http://www.dephan.go.id/modules.php?name=News&file=article&sid=6911
• http://one.indoskripsi.com/node/10397
• http://www.rakyatmerdeka.co.id/nusantara/index.php?q=news&id=7426
• http://www.inilah.com/news/read/celah/2009/12/01/195652/perjalanan-panjang-nasionalisme/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar